Berikan Aku Seorang Ayah
Secarik kertas koran terbang dikipas angin dan
tersangkut pada tiang listrik. Dari kejauhan bisa aku baca judul besar
yang tertulis dengan warna merah pada halaman kertas itu yang
mengingatkan saya akan natal yang kini tiba. Malam nanti adalah "Malam
Kudus, Malam Damai". Dan setiap hati pasti mengimpikan agar di malam ini
mereka bisa menemukan setitik kesegaran, menemukan secercah kedamaian
yang dibawa oleh Allah yang menjelma.
Judul
di kertas koran itu tertulis dalam Karakter khusus bahasa Cina;
"Selamat Hari Natal: Semoga Harapan Anda Menjadi Kenyataan." Karena
tertarik dengan judul tersebut, saya memungut kertas koran yang sudah
tercabik dan kotor itu dan membacanya. Ternyata ini merupakan halaman
khusus yang sengaja disiapkan bagi siapa saja agar menuliskan impian dan
harapannya. Koran ini seakan berperan sebagai agen yang meneruskan
harapan mereka agar kalau boleh bisa didengarkan oleh Santa Klaus atau
oleh Allah sendiri. Ada kurang lebih tiga puluh harapan yang dimuat di
halaman koran hari ini. Namun saya tertarik dengan harapan yang ditulis
oleh seorang gadis kelas tiga SMP:
"Tuhan...apakah
Engkau sungguh ada? Aku tak pernah tahu tentang Engkau. Aku tak pernah
melihat diriMu. Namun banyak orang mengatakan bahwa malam ini Engkau
yang jauh di atas sana akan menjelma menjadi seorang manusia sama
seperti diriku dan mendengarkan setiap harapan yang ada di dasar setiap
hati. Tuhan kalau Engkau sungguh ada dan malam ini mengetuk hatiku, aku
akan mengatakan kepadaMu bahwa aku butuh seorang ayah. Berikanlah aku
seorang ayah. Aku tahu bahwa harapanku ini bukanlah sesuatu yang baru,
karena sejak kecil aku secara terus-menerus merindukan hal ini."
"Kata
ibuku di rumahku ada seorang ayah. Aku tahu bahwa di rumahku, di
samping ibuku masih ada seorang lelaki yang hidup bersama kami. Dan kata
ibu dia inilah yang seharusnya aku panggil ayah. Namun aku tak pernah
merasakan cinta seorang ayah. Setiap hari kami tak pernah mengucapkan
lebih dari tiga kalimat. Ketika kami saling berpapasan, yang aku rasakan
cumalah kebencian yang terpancar dari sudut kedua matanya."
"Benar
bahwa ia membayar uang sekolahku. Ia juga membiayai kebutuhan hidupku.
Tapi... sebatas itukah yang disebut kasih sayang seorang bapa? Dia tak
lebih dari pada seseorang yang harus memenuhi sebuah tuntutan hukum
untuk mendampingi diriku, tetapi ia bukanlah ayahku. Setiap ongkos yang
keluar untuk membayar uang sekolahku harus aku bayar dengan derai air
mata dan isakan tangis, harus aku bayar dengan mata yang membengkak.
Inikah kasih sayang seorang bapa?¡¨
"Tuhan...apakah
Engkau mendengarkan diriku? Malam ini ketika Engkau menjelma menjadi
seseorang seperti diriku dan menjenguk bathinku, hanya satu hal yang aku
harapkan. Berikanlah aku seorang bapa. Seorang bapa yang mencintaiku,
seorang bapa yang bisa menasihati aku tetapi mencaci diriku."
Setelah
membaca tulisan ini aku bisa merasakan kepedihan yang bercokol dalam
diri si gadis ini. Aku pernah menjadi seorang anak tiri, anak yang
kehilangan seorang bapa ketika masih berumur dua tahun. Dan betapa dalam
dan besarnya kerinduanku untuk bisa merasakan kasih sayang seorang
bapa. Ketika berumur sembilan tahun aku akhirnya boleh memperoleh
seorang ayah lagi.
Namun
temanku, aku yakin anda pernah membaca kisah hidup anak tiri. Aku tak
hanya membaca, namun dengan hidupku sendiri aku mengalaminya. Ternyata
kerinduanku untuk menyapa seseorang sebagai bapa hanya bisa bertahan
dalam mimpi. Itulah nasib menjadi seorang anak tiri. Namun waktu terus
bergulir. Bapa tiriku kini telah ubanan. Kalau dulu aku bermimpi untuk
dicintai oleh seseorang yang boleh aku panggil sebagai bapa, walau
mimpiku ini tak pernah menjadi kenyataan, namun kini aku hanya bisa
berjuang untuk mencintai seseorang dengan harapan bahwa ia boleh menyapa
aku sebagai anaknya. Yang ada di dasar bathinku bukanlah rasa marah dan
dendam. Tapi belas kasihan. Dan ini hanya menjadi mungkin karena aku
telah mengalami cinta seorang Bapa yang dibawa oleh seorang bayi mungil
di kandang hina. Yesus yang lahir dalam dingin telah mengatakan kepadaku
bahwa ada seorang Bapa yang selalu dan senantiasa mencintaiku. Aku tak
perlu lagi mencari dan bermimpi. Kini adalah giliranku untuk membalas
cinta tersebut dengan mencintai orang lain, dan...terutama mencintai
ayah tiriku.
Sumber : Tarsis Sighosighotarsi@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar